]] Dynamic Blog: Optimisme Ketahanan Pangan Era Jokowi

Sabtu, 31 Desember 2016

Optimisme Ketahanan Pangan Era Jokowi

Oleh Fatih Atsaris Sujud

Ketahanan pangan nasional  merupakan salah satu cerminan ketahanan nasional. Hal tersebut merujuk pada pidato seorang tokoh revolusioner Republik Indonesia dalam acara peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (sekarang Institut Pertanian Bogor). “Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”; oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner” (Ir. Soekarno).
Apa yang dikatakan oleh Ir. Soekarno tidaklah salah. Cuplikan pidato tersebut mengingatkan kita akan
arti penting ketahanan pangan. Isu pangan menjadi isu strategis yang terus mewarnai  dinamika perkembangan ekonomi dan politik setiap bangsa. Hal ini tidaklah berlebihan, mengingat  pangan  menjadi  salah satu kebutuhan dasar manusia guna mempertahankan hidup.
Ketahanan pangan adalah kondisi di mana seseorang dapat mengakses makanan dengan mudah baik itu secara fisik maupun ekonomi. Gizi buruk, kebodohan, dan semacamnya akibat rendahnya ketahanan pangan, secara langsung menghambat pembangunan nasional dan juga menciptakan ketahanan nasional yang rendah. Jadi, sebelum menimbulkan kegawatan pada umat manusia, kurangnya ketahanan pangan dan kelaparan berakibat terlebih dahulu kepada negara tempat nasionalisasi individu tersebut. Ketika seseorang lapar, ia tidak dapat berpikir secara jernih dan lebih banyak mengarah pada radikalisme. Ketika penduduk suatu negara menderita malgizi, harapan hidup mereka rendah dan tentunya mengurangi angka manusia yang dapat berkontribusi kepada negara. Hal tersebut senada dengan pendapat Virginia Woolf, seorang penulis berkebangsaan Inggris. “Seseorang tidak akan bisa berpikir dengan benar, mencintai dengan benar, dan tidur dengan baik, jika ia belum makan.”
Pada akhirnya, ketahanan pangan akan berbanding lurus dengan ketahanan nasional. Dengan tercukupinya ketersediaan pangan, suatu bangsa akan berpikir lebih maju untuk memenuhi kebutuhan yang lainnya. Ketahanan nasional secara langsung meningkatkan pembangunan nasional, dan dalam ketahanan nasional dihasilkan manusia-manusia yang berkualitas dan tercukupi kebutuhan pokoknya.
Persoalan pangan selalu menjadi pembahasan penting namun sering terabaikan. Kondisi pangan dunia, termasuk Indonesia selalu mengalami pergejolakan yang berdampak pada banyak sektor. Bahkan seorang ilmuwan asal Inggris memprediksikan  pada tahun 2050 akan ada ratusan ribu orang mati kelaparan akibat produksi pangan yang semakin berkurang. Padahal, para pemimpin negara telah mengikrarkan untuk mencapai ketahanan pangan serta meneruskan upaya mengurangi separuh jumlah penderita kekurangan pangan pada tahun 2015 dalam World Food Summit (WFS) yang diselenggarakan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) pada bulan November 1996. Nyatanya, hingga detik ini masih santer terdengar kabar kekurangan pangan di berbagai pelosok negara.
Melihat penduduk Indonesia yang jumlahnya mencapai seperempat miliar, ada kekhawatiran tersendiri apabila ketersediaan pangan tidak mampu mengimbangi besarnya pertambahan jumlah penduduk. Hal tersebut sudah jauh-jauh hari bahkan berabad-abad dikemukakan oleh seorang tokoh asal Inggris, “Ketersediaan pangan tidak mampu mengikuti pertambahan jumlah penduduk, sebagai akibat terbatasnya kapasitas tanah untuk memproduksi pangan dan tidak terkendalinya pertumbuhan penduduk. Bahaya kelaparan menjadi respon alamiah dari krisis pangan tersebut." Thomas Robert Malthus, An Essay on the Principle of Population, 1798.
Menyikapi hal tersebut, dalam upaya memperkuat kedaulatan pangan, pemerintah telah menetapkan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2005-2019, yaitu:
1.      Perbaikan kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat.
2.      Peningkatan produksi pangan pokok.
3.      Stabilisasi harga bahan pangan.
4.      Peningkatan kesejahteraan pelaku usaha pangan.
5.      Mitigasi gangguan terhadap ketahanan pangan.
Adapun RKP (Rencana Kerja Pemerintah) 2017 sendiri untuk pembangunan kedaulatan pangan antara lain:
1.      Peningkatan mutu pangan, kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat.
  1. Peningkatan produksi padi dan pangan lain.
  2. Peningkatan distribusi pangan dan akses pangan masyarakat.
  3. Penanganan gangguan terhadap produksi pangan.
Pemerintah sadar bahwa ketahanan pangan merupakan isu yang sangat penting. Oleh karena itu, Indonesia telah menyepakati kesepakatan tingkat global dalam tujuan kedua dari pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang tertulis “mengakhiri kelaparan”.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk membantu mengurangi kelaparan dan meningkatkan ketahanan pangan dunia termasuk juga ketahanan pangan di Indonesia. Lalu apa yang bisa dilakukan? Salah satu cara menghadapi keadaan rawan pangan di Indonesia adalah dengan diversifikasi pangan.
Implementasi dari diversifikasi pangan adalah penggenjotan produksi pangan lokal. Pola produksi pangan yang masih berorientasi pada beras itulah yang menyebabkan pola konsumsi masyarakat di Indonesia belum ideal. Saat ini, pemerintah masih terus berupaya mensosialisasikan program diversifikasi makanan pokok selain beras seperti jagung, sagu, dan kelompok umbi-umbian. Melalui diversi­fikasi pangan, bukan berarti pemerintah tidak lagi ber­upaya memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Pemerintah tetap mengupayakan agar produksi beras terus meningkat melebihi kebutuhan, sehingga negara bisa mencapai surplus cadangan pangan. Program diversifikasi pa­ngan berbasis sumberdaya lokal akan mem­percepat swasembada beras yang telah pemerintah canangkan. Kare­na itu, sosialisasi dan promosi diversifikasi konsumsi pangan secara terus  menerus sangat diper­lukan. Jika semua daerah mengembangkan pangan lokal, terutama sumber karbohidrat selain beras sesuai potensi daerah, maka pemerintah tidak perlu setiap saat dipusingkan masalah ketersediaan beras.
Perlu diketahui bersama, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati nomor dua di dunia setelah Brazil. Hasil kajian Pusat Kajian Makanan Tradisional UGM mengemukakan bahwa Indonesia memiliki 800 spesies tanaman pangan, 77 jenis sumber karbohidrat, 75 jenis sumber lemak/minyak, 1000 spesies tanaman obat, 116 jenis rempah dan bumbu, 40 jenis bahan minuman, 232 jenis sayuran, 26 jenis kacang-kacangan dan 389 jenis buah-buahan. Menarik, karena pada dasarnya Indonesia merupakan negara yang luas dan kaya tumbuhan. Begitu pula dalam hal pangan, masyarakat Indonesia ada yang berbahan pangan pokok padi, ada juga sagu, sesuai dengan tanaman yang tumbuh pada wilayah tersebut.
Persoalan ketahanan pangan tidak hanya mengenai ketersediaan saja. Berdasarkan informasi yang dikutip dari website resmi Badan Usaha Logistik (Bulog), ada tiga pilar ketahanan pangan, yaitu ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility) baik secara fisik maupun ekonomi, dan stabilitas (stability) yang harus tersedia dan terjangkau setiap saat dan setiap tempat. Apabila ketiga pilar ketahanan pangan terpenuhi, maka masyarakat atau rumah tangga tersebut mampu memenuhi ketahanan pangannya masing-masing.
Mengacu pada tiga pilar di atas, maka masalah ketahanan pangan dapat terjadi apabila salah satu dari ketiga unsur ketahanan pangan tersebut terganggu. Namun dalam realitanya, pemahaman terhadap ketahanan sering dipersempit sehingga hanya ditekankan pada unsur penyediaan dan harga saja, atau bahkan ada yang hanya menekankan pada aspek yang lebih sempit yang menyamakan pengertian ketahanan pangan dengan pengertian swasembada.
Ketiga pilar ketahanan pangan tersebut harus dapat terwujud secara bersama-sama dan seimbang. Pilar ketersediaan dapat dipenuhi baik dari hasil produksi dalam negeri maupun dari luar negeri. Pilar keterjangkauan dapat dilihat dari keberadaan pangan yang secara fisik berada di dekat konsumen dengan kemampuan ekonomi konsumen untuk dapat membelinya (memperolehnya). Sedangkan pilar stabilitas dapat dilihat dari kontinyuitas pasokan dan stabilitas harga yang dapat diharapkan rumah tangga setiap saat dan di setiap tempat. Jadi, selain mengatasi masalah ketersediaan, ada dua pilar lagi yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan ketahanan pangan yaitu keterjangkauan dan stabilitas.
 Dalam upaya mengatasi permasalahan keterjangkauan, pemerintah melalui lembaga pemerintahan berupaya mengoptimalkan pemberantasan kartel pangan. Keberanian Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengajak Kapolri, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Menteri Pertanian bertekad menindak tegas kartel pangan, patut kita apresiasi. Pasalnya, kartel komoditas pangan selama ini telah mengambil keuntungan besar dari impor daging sapi, kedelai, jagung, gula, bawang putih, dan bawang merah.
Kartel merupakan kerja sama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan yang wajar, yang secara klasik menguasai jalur harga, produksi, dan wilayah pemasaran. Praktik kartel tidaklah mudah dibuktikan dan sebagian besar dilakukan secara diam-diam, sehingga membuat otoritas pengawas seringkali kesulitan mendapatkan bukti-bukti sahih untuk menyeret pelaku kartel. Tidak mengherankan bila sebagian besar kartel pangan yang mendapat dukungan birokrasi korup, berubah menjadi sangat struktural, bagaikan tembok kedap air. Sebagai contoh, meskipun sudah dihukum pada 2006, praktik kartel garam kembali terulang pada 2015. Pelaku “jual beli” kuota impor daging sapi ditangkap dan dihukum 2013, namun harga daging sapi sampai sekarang masih mahal.
Pilar ketahanan ketiga yaitu stabilitas. Melonjaknya harga bahan kebutuhan pokok di bulan Ramadan misalnya, sudah menjadi masalah dari tahun ke tahun. Lonjakan harga ini biasanya terjadi pada daging sapi, cabai merah, dan bawang merah. Meskipun pemerintah telah berupaya untuk meredam kenaikan harga tersebut dengan berbagai kebijakan, namun tetap saja fluktuasi harga tidak dapat dibendung. Dalam kondisi seperti ini, impor menjadi satu-satunya cara untuk menjaga stabilitas harga pangan dan menjamin ketersediaan pangan bagi masyarakat. Padahal, seharusnya impor merupakan upaya terakhir dalam upaya penyediaan pangan.
Sumber utama penyediaan pangan nasional berasal dari produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional. Data menunjukkan bahwa pemerintah baru memiliki cadangan pangan nasional sebatas komoditas beras saja. Dengan adanya cadangan pangan nasional yang mencukupi, diharapkan lonjakan harga di waktu-waktu tertentu dapat dicegah.
Selain cadangan pangan nasional, upaya lain adalah dengan melakukan operasi pasar dan penyelenggaran pasar murah untuk masyarakat. Kementerian terkait seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan perlu berkoordinasi dengan Perum Bulog untuk menggelar Operasi Pasar Murah di pasar-pasar tradisional. Dalam jangka pendek, pemerintah harus menyiapkan pasokan kebutuhan pokok yang cukup dan aman, khususnya di bulan Ramadan dan menjelang hari raya. Pemerintah juga harus menjamin penyaluran barang dari sentra-sentra produksi ke pasar maupun ke konsumen  berjalan lancar. Sedangkan dalam jangka panjang, pemerintah perlu menyiapkan regulasi yang lebih kuat dan strategi yang tepat untuk dapat mengendalikan harga kebutuhan pokok, termasuk komitmen menerapkan sanksi tegas bagi yang terbukti memainkan harga kebutuhan pokok.

Selain upaya pemerintah, masyarakat juga dapat ikut berpartisipasi menjaga stabilitas harga pangan dengan tidak berbelanja stok kebutuhan pangan secara berlebihan. Alangkah baiknya pada momen-momen khusus seperti Ramadan dan hari besar lain, konsumsi daging dapat dialihkan dengan mengonsumsi ikan laut. Apabila seluruh pihak menjalankan fungsinya dengan baik, bukan tidak mungkin di tahun-tahun mendatang stabilitas harga dan pasokan pangan terjamin. Bahkan Indonesia dapat menjadi negara pengekspor komoditas pangan ke negara tetangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar