Oleh Fatih
Atsaris Sujud
Ketahanan pangan
nasional merupakan salah satu cerminan
ketahanan nasional. Hal tersebut merujuk pada pidato seorang tokoh revolusioner
Republik Indonesia dalam acara peletakan batu pertama Fakultas Pertanian
Universitas Indonesia (sekarang Institut Pertanian Bogor). “Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila
kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”; oleh karena itu perlu
usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner” (Ir. Soekarno).
Apa yang dikatakan oleh Ir.
Soekarno tidaklah salah. Cuplikan pidato tersebut mengingatkan kita akan
arti penting ketahanan pangan. Isu pangan menjadi isu strategis yang terus
mewarnai dinamika perkembangan ekonomi dan politik setiap bangsa. Hal ini
tidaklah berlebihan, mengingat pangan menjadi salah satu
kebutuhan dasar manusia guna mempertahankan hidup.
Ketahanan pangan adalah kondisi di mana seseorang dapat mengakses
makanan dengan mudah baik itu secara fisik maupun ekonomi. Gizi buruk,
kebodohan, dan semacamnya akibat rendahnya ketahanan pangan, secara langsung
menghambat pembangunan nasional dan juga menciptakan ketahanan nasional yang
rendah. Jadi, sebelum menimbulkan kegawatan pada umat manusia, kurangnya
ketahanan pangan dan kelaparan berakibat terlebih dahulu kepada negara tempat
nasionalisasi individu tersebut. Ketika seseorang lapar, ia tidak dapat
berpikir secara jernih dan lebih banyak mengarah pada radikalisme. Ketika
penduduk suatu negara menderita malgizi, harapan hidup mereka rendah dan
tentunya mengurangi angka manusia yang dapat berkontribusi kepada negara. Hal tersebut senada dengan pendapat Virginia Woolf, seorang
penulis berkebangsaan Inggris. “Seseorang tidak akan bisa berpikir dengan
benar, mencintai dengan benar, dan tidur dengan baik, jika ia belum makan.”
Pada
akhirnya, ketahanan pangan akan berbanding lurus dengan ketahanan nasional.
Dengan tercukupinya ketersediaan pangan, suatu bangsa akan berpikir lebih maju
untuk memenuhi kebutuhan yang lainnya. Ketahanan nasional secara langsung
meningkatkan pembangunan nasional, dan dalam ketahanan nasional dihasilkan
manusia-manusia yang berkualitas dan tercukupi kebutuhan pokoknya.
Persoalan pangan selalu menjadi
pembahasan penting namun sering terabaikan. Kondisi pangan dunia, termasuk
Indonesia selalu mengalami pergejolakan yang berdampak pada banyak sektor. Bahkan
seorang ilmuwan asal Inggris memprediksikan pada tahun 2050 akan ada
ratusan ribu orang mati kelaparan akibat produksi pangan yang semakin berkurang.
Padahal, para pemimpin negara telah mengikrarkan untuk mencapai ketahanan
pangan serta meneruskan upaya mengurangi separuh jumlah penderita kekurangan
pangan pada tahun 2015 dalam World Food Summit (WFS) yang
diselenggarakan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) pada
bulan November 1996. Nyatanya, hingga detik ini masih santer terdengar kabar
kekurangan pangan di berbagai pelosok negara.
Melihat
penduduk Indonesia yang jumlahnya mencapai seperempat miliar, ada kekhawatiran
tersendiri apabila ketersediaan pangan tidak mampu mengimbangi besarnya pertambahan
jumlah penduduk. Hal tersebut sudah jauh-jauh hari bahkan berabad-abad
dikemukakan oleh seorang tokoh asal Inggris, “Ketersediaan pangan tidak
mampu mengikuti pertambahan jumlah penduduk, sebagai akibat terbatasnya
kapasitas tanah untuk memproduksi pangan dan tidak terkendalinya pertumbuhan
penduduk. Bahaya kelaparan menjadi respon alamiah dari krisis pangan tersebut."
Thomas Robert Malthus, An Essay on the Principle of Population, 1798.
Menyikapi hal tersebut, dalam upaya memperkuat
kedaulatan pangan, pemerintah telah menetapkan RPJMN (Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional) 2005-2019, yaitu:
1. Perbaikan kualitas konsumsi pangan
dan gizi masyarakat.
2. Peningkatan produksi pangan pokok.
3. Stabilisasi harga bahan pangan.
4. Peningkatan kesejahteraan pelaku
usaha pangan.
5. Mitigasi gangguan terhadap ketahanan
pangan.
Adapun RKP (Rencana Kerja
Pemerintah) 2017 sendiri untuk pembangunan kedaulatan pangan antara lain:
1. Peningkatan mutu pangan, kualitas
konsumsi pangan dan gizi masyarakat.
- Peningkatan produksi padi dan pangan lain.
- Peningkatan distribusi pangan dan akses pangan
masyarakat.
- Penanganan gangguan terhadap produksi pangan.
Pemerintah sadar bahwa ketahanan
pangan merupakan isu yang sangat penting. Oleh karena itu, Indonesia telah
menyepakati kesepakatan tingkat global dalam tujuan kedua dari pembangunan
berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang
tertulis “mengakhiri kelaparan”.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk
membantu mengurangi kelaparan dan meningkatkan ketahanan pangan dunia termasuk
juga ketahanan pangan di Indonesia. Lalu apa yang bisa dilakukan? Salah satu
cara menghadapi keadaan rawan pangan di Indonesia adalah dengan diversifikasi
pangan.
Implementasi dari
diversifikasi pangan adalah penggenjotan produksi pangan lokal. Pola produksi
pangan yang masih berorientasi pada beras itulah yang menyebabkan pola konsumsi
masyarakat di Indonesia belum ideal. Saat ini, pemerintah masih terus berupaya
mensosialisasikan program diversifikasi makanan pokok selain beras seperti
jagung, sagu, dan kelompok umbi-umbian. Melalui diversifikasi pangan,
bukan berarti pemerintah
tidak lagi berupaya memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Pemerintah tetap
mengupayakan
agar produksi beras
terus meningkat melebihi kebutuhan, sehingga negara bisa mencapai surplus
cadangan pangan. Program diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal akan mempercepat swasembada
beras yang telah pemerintah canangkan. Karena itu, sosialisasi dan promosi
diversifikasi konsumsi pangan secara terus menerus sangat diperlukan. Jika semua daerah mengembangkan pangan lokal, terutama sumber
karbohidrat selain beras sesuai potensi daerah, maka pemerintah tidak perlu
setiap saat dipusingkan masalah ketersediaan beras.
Perlu diketahui bersama, Indonesia memiliki
keanekaragaman hayati nomor dua di dunia setelah Brazil. Hasil kajian Pusat
Kajian Makanan Tradisional UGM mengemukakan bahwa Indonesia memiliki 800
spesies tanaman pangan, 77 jenis sumber karbohidrat, 75 jenis sumber
lemak/minyak, 1000 spesies tanaman obat, 116 jenis rempah dan bumbu, 40 jenis
bahan minuman, 232 jenis sayuran, 26 jenis kacang-kacangan dan 389 jenis
buah-buahan. Menarik, karena pada dasarnya Indonesia merupakan negara yang luas
dan kaya tumbuhan. Begitu pula dalam hal pangan, masyarakat Indonesia ada yang
berbahan pangan pokok padi, ada juga sagu, sesuai dengan tanaman yang tumbuh
pada wilayah tersebut.
Persoalan ketahanan pangan tidak hanya
mengenai ketersediaan saja. Berdasarkan informasi yang dikutip dari website
resmi Badan Usaha Logistik (Bulog), ada tiga pilar ketahanan pangan, yaitu ketersediaan
(availability), keterjangkauan (accessibility) baik secara fisik
maupun ekonomi, dan stabilitas (stability) yang harus tersedia dan
terjangkau setiap saat dan setiap tempat. Apabila ketiga pilar ketahanan pangan
terpenuhi, maka masyarakat atau rumah tangga tersebut mampu memenuhi ketahanan
pangannya masing-masing.
Mengacu pada tiga pilar di atas,
maka masalah ketahanan pangan dapat terjadi apabila salah satu dari ketiga
unsur ketahanan pangan tersebut terganggu. Namun dalam realitanya, pemahaman
terhadap ketahanan sering dipersempit sehingga hanya ditekankan pada unsur
penyediaan dan harga saja, atau bahkan ada yang hanya menekankan pada aspek
yang lebih sempit yang menyamakan pengertian ketahanan pangan dengan pengertian
swasembada.
Ketiga pilar ketahanan pangan
tersebut harus dapat terwujud secara bersama-sama dan seimbang. Pilar
ketersediaan dapat dipenuhi baik dari hasil produksi dalam negeri maupun dari luar
negeri. Pilar keterjangkauan dapat dilihat dari keberadaan pangan yang secara
fisik berada di dekat konsumen dengan kemampuan ekonomi konsumen untuk dapat
membelinya (memperolehnya). Sedangkan pilar stabilitas dapat dilihat dari
kontinyuitas pasokan dan stabilitas harga yang dapat diharapkan rumah tangga
setiap saat dan di setiap tempat. Jadi, selain mengatasi
masalah ketersediaan, ada dua pilar lagi yang perlu diperhatikan dalam
mewujudkan ketahanan pangan yaitu keterjangkauan dan stabilitas.
Dalam
upaya mengatasi permasalahan keterjangkauan, pemerintah melalui lembaga
pemerintahan berupaya mengoptimalkan pemberantasan kartel pangan. Keberanian Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita
mengajak Kapolri, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Menteri Pertanian
bertekad menindak tegas kartel pangan, patut kita apresiasi. Pasalnya, kartel
komoditas pangan selama ini telah mengambil keuntungan besar dari impor daging
sapi, kedelai, jagung, gula, bawang putih, dan bawang merah.
Kartel
merupakan kerja sama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengoordinasi
kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang
dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan yang
wajar, yang secara klasik menguasai jalur harga, produksi, dan wilayah
pemasaran. Praktik kartel tidaklah mudah dibuktikan dan sebagian besar
dilakukan secara diam-diam, sehingga membuat otoritas pengawas seringkali
kesulitan mendapatkan bukti-bukti sahih untuk menyeret pelaku kartel. Tidak
mengherankan bila sebagian besar kartel pangan yang mendapat dukungan birokrasi
korup, berubah menjadi sangat struktural, bagaikan tembok kedap air. Sebagai
contoh, meskipun sudah dihukum pada 2006, praktik kartel garam kembali terulang
pada 2015. Pelaku “jual beli” kuota impor daging sapi ditangkap dan dihukum
2013, namun harga daging sapi sampai sekarang masih mahal.
Pilar ketahanan ketiga yaitu stabilitas.
Melonjaknya harga bahan kebutuhan pokok di bulan Ramadan misalnya, sudah
menjadi masalah dari tahun ke tahun. Lonjakan harga ini biasanya terjadi pada
daging sapi, cabai merah, dan bawang merah. Meskipun
pemerintah telah berupaya untuk meredam kenaikan harga tersebut dengan berbagai
kebijakan, namun tetap saja fluktuasi harga tidak dapat dibendung. Dalam kondisi seperti ini, impor menjadi
satu-satunya cara untuk menjaga stabilitas harga pangan dan menjamin
ketersediaan pangan bagi masyarakat. Padahal, seharusnya impor merupakan upaya
terakhir dalam upaya penyediaan pangan.
Sumber utama penyediaan pangan nasional berasal
dari produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional. Data menunjukkan bahwa
pemerintah baru memiliki cadangan pangan nasional sebatas komoditas beras saja.
Dengan adanya cadangan pangan nasional yang mencukupi, diharapkan lonjakan
harga di waktu-waktu tertentu dapat dicegah.
Selain cadangan pangan nasional, upaya lain
adalah dengan melakukan operasi pasar dan penyelenggaran pasar murah untuk
masyarakat. Kementerian terkait seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian
Perdagangan perlu berkoordinasi dengan Perum Bulog untuk menggelar Operasi
Pasar Murah di pasar-pasar tradisional. Dalam
jangka pendek, pemerintah harus menyiapkan pasokan kebutuhan pokok yang cukup
dan aman, khususnya di bulan Ramadan dan menjelang hari raya. Pemerintah juga
harus menjamin penyaluran barang dari sentra-sentra produksi ke pasar maupun ke
konsumen berjalan lancar. Sedangkan dalam
jangka panjang, pemerintah perlu menyiapkan regulasi yang lebih kuat dan
strategi yang tepat untuk dapat mengendalikan harga kebutuhan pokok, termasuk
komitmen menerapkan sanksi tegas bagi yang terbukti memainkan harga kebutuhan
pokok.
Selain upaya pemerintah, masyarakat juga
dapat ikut berpartisipasi menjaga stabilitas harga pangan dengan tidak
berbelanja stok kebutuhan pangan secara berlebihan. Alangkah baiknya pada
momen-momen khusus seperti Ramadan dan hari besar lain, konsumsi daging dapat
dialihkan dengan mengonsumsi ikan laut. Apabila
seluruh pihak menjalankan fungsinya dengan baik, bukan tidak mungkin di
tahun-tahun mendatang stabilitas harga dan pasokan pangan terjamin. Bahkan
Indonesia dapat menjadi negara pengekspor komoditas pangan ke negara tetangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar